TEMPO.CO, Mosul — Para pengungsi berusaha mencari tempat berteduh di halaman Katedral Uskup Bashar Warda, Kota Irbil, Irak, Sabtu dua pekan lalu. Beberapa orang duduk di antara semak-semak. Sedangkan yang lainnya bergerombol di bawah bayang-bayang bangunan gereja agar terlindung dari sengatan matahari. Anak-anak dan perempuan mendapat tempat lebih baik di dalam ruang gereja. Namun 4.000 orang itu masih merasakan kengerian karena terusir dari kampung halaman mereka.
“Kami tidak pernah menyangka hari ini akan datang. Kota Mosul tanpa warga Kristen dan dataran Niniveh tanpa penduduk minoritas,” kata Warda. “Hubungan baik di antara seluruh komunitas hancur dalam sekejap."
Toleransi beragama dan antar-etnis sejatinya telah terjalin selama dua millennia di tanah Irak bagian utara dan barat daya. Penduduk muslim Sunni-Syiah tinggal dengan damai bersama kelompok minoritas Kristen Asiria, Yazidi, Sabian, Madean, hingga Saba’i. Namun kekejaman kelompok Negara Islam Irak dan Syam (IS) dalam dua bulan terakhir telah menghancurkan keharmonisan selama 2.000 tahun tersebut. (Baca: ISIS Subur di Irak karena Faktor Ekonomi)
“Mereka (para pengungsi) dapat menceritakan bagaimana tetangga yang telah hidup bersama selama 40 tahun terakhir menjadi orang pertama yang mencuri barang dari rumah mereka,” ujar Warda, sambil melihat ke arah pengungsi dari balik jendela gereja.
Hal ini diiyakan oleh Sabah Haji Hassan, seorang Yazidi berusia 68 tahun, yang berhasil melarikan diri dari serangan berdarah oleh kelompok jihad Negara Islam (IS). “Tapi pembunuhan terburuk datang dari orang-orang yang tinggal di antara kita, yaitu tetangga muslim Sunni,” katanya. Para tetangga itu, menurut Hassan, mengambil barang-barang warga minoritas dan memberikan informasi kepada IS. (Baca: ISIS Cekoki Anak-anak dengan Video Pemenggalan)